Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

STUDI KASUS POLITIK DI TANAH PAPUA HINGGA SOLUSI ATAU SARAN

 

A.        Latar Belakang

53 tahun sudah konflik Papua terjadi. Selama kurun waktu yang cukup lama tersebut, upaya penyelesaian konflik Papua seakan “stagnan” tanpa perkembangan berarti. Konteks Papua saat ini tidak bisa dilepaskan dari diskursus seputar HAM, Otonomi Khusus, dan gerakan kemerdekaan dari NKRI. Aroma konflik disertai kekerasan senantiasa menjadi hiasan abadi masyarakat Papua dengan jumlah korban yang terus berjatuhan. Belum lagi masalah ketidak-adilan, kesenjangan sosial dan kesejahteraan masyarakat Papua yang masih jauh dari harapan. Pastinya, hingga saat ini, masyarakat Papua masih tetap menyandang status “daerah tertinggal” dimana narasi-narasi “kekalahan” dengan mudah kita dapatkan dari pemberitaan media massa baik dalam bidang ekonomi, pendidikan, sosial budaya hingga kesehatan.

Lantas apa sesungguhnya yang menyebabkan upaya penyelesaian konflik Papua menemui jalan buntu? Jawabannya mungkin sangat beragam, namun ada hal krusial yang belum bisa menjadi jawabannya yaitu pemerintah menerapkan politik “setengah hati” untuk Papua. Yang dimaksud politik “setengah hati” adalah keengganan pemerintah menyelesaikan problem utama konflik Papua. Keseriusan pemerintah menyelesaikan konflik Papua secara komprehensif dan bermartabat memang perlu dikaji lebih dalam lagi. Selama ini, semua opsi-opsi yang digulirkan pemerintah untuk Papua terkesan begitu “instan” dan sekedar dimaksudkan untuk meredam keinginan Papua merdeka.

Melihat hal tersebut, wajar bila banyak kalangan menilai bahwa pemangku kekuasaan di Jakarta belum sepenuhnya memahami akar dan problem Papua yang sesungguhnya sehingga seringkali menyebabkan salah “diagnosis” dan salah “memberikan obat”, akibatnya program-program yang dijalankan salah sasaran dan tidak berjalan maksimal. Kondisi tersebut akhirnya menyebabkan akar konfliknya menjadi kabur atau menjadi terlihat memiliki akar konflik yang banyak sehingga semakin lama semakin sulit diselesaikan. Meminjam istilah yang dipopulerkan oleh Otto Syamsuddin Ishak, konflik di Papua ini tak ubahnya seperti Ubi Jalar Papua, ketika dahannya menyentuh tanah, maka muncul akar baru dengan umbi yang besar. Ini berarti pelbagai upaya penyelesaian konflik Papua ternyata malah menimbulkan masalah baru yang semakin pelik untuk diselesaikan.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan di dalam buku Papua Road Map (2008), ada faktor lain yang melanggengkan konflik dan masalah di wilayah itu, antara lain lemahnya pertanggungjawaban negara atas berbagai pelanggaran HAM dan kekerasan di masa lalu terhadap warga Papua, marjinalisasi dan diskriminasi terhadap orang asli Papua – salah satunya akibat migrasi masal ke Papua sejak tahun 1970-an –, dan konstruksi identitas sejarah dan politik masyarakat asli Papua.

Berkaca pada pendapat LIPI tersebut, tak heran jika hingga saat ini, pendekatan ekonomi yang diterapkan pemerintah tak kunjung mampu menjadi solusi bagi penyelesaian masalah dan konflik di Papua. Puluhan triliun dana otonomi khusus (otsus) yang dikucurkan pemerintah sejak tahun 2001 belum banyak mengubah tingkat kesejahteraan masyarakat Papua. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Papua dan Papua Barat sejak tahun 2010-2017 masih menjadi yang terendah secara nasional. Rasio ketimpangan di dua provinsi paling timur Indonesia itu pun malah meningkat. Pada semester 1 tahun 2010, rasio ketimpangan Provinsi Papua Barat adalah 0.291 sedangkan Provinsi Papua adalah 0.294, lebih rendah dibandingkan rasio ketimpangan di tingkat nasional yang mencapai angka 0.382. Pada semester 2 tahun 2017, rasio ketimpangan Provinsi Papua Barat dan Papua masing-masing naik menjadi 0.387 dan 0.398.

Untuk itu, Yayasan Tifa menilai, pemerintah perlu menggunakan pendekatan lain yang damai, adil, bermartabat, dan lebih komprehensif dalam menyelesaikan masalah dan konflik di Papua. Pemerintah juga perlu menerapkan pendekatan yang lebih strategis, seperti mulai membangun rasa saling percaya dan mengubah metode penyelesaian konflik dari top-down menjadi bottomup dengan melibatkan warga Papua dalam mengidentifikasi permasalahan di lapangan.

Salah satu langkah yang dapat pemerintah ambil untuk mewujudkan keduanya adalah menyelenggarakan dialog dengan berbagai pihak termasuk aktor-aktor penting di Papua. Direktur Eksekutif Yayasan Tifa Darmawan Triwibowo mengatakan, melalui dialog, pemerintah dapat lebih memahami Papua dari sudut pandang masyarakatnya, begitu pun sebaliknya. Jika rasa saling memahami itu telah tumbuh, bukan niscaya rasa saling mempercayai pun dapat terbangun.

“Para pemangku kepentingan baik di Jakarta maupun Papua dapat menyerap lebih banyak aspirasi masyarakat Papua sehingga pemerintah dapat lebih mudah memetakan permasalahan yang perlu segera diselesaikan,” ungkap Darmawan.

Terlepas dari berbagai alasan di atas, dialog nasional perlu segera dilaksanakan karena Presiden Joko Widodo pernah menjanjikannya. Pada perayaan Natal nasional tahun 2014 di Lapangan Mandala, Kota Jayapura, ia menegaskan bahwa dialog adalah jalan terbaik menyelesaikan persoalan-persoalan di Papua.

B.        Inti Persoalan Utama Politik di Papua

LIPI temukan empat akar masalah di Papua dan dari segi substansi dan niat politik, UU Nomor 21/2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) dibuat sebagai instrumen untuk untuk menyelesaikan empat akar masalah di Papua. Empat akar masalah itu adalah:

1.  Kegagalan Pembangunan

Hingga 2017, pemerintah telah menggeluarkan dana otonomi khusus (otsus) sebesar Rp 63,8 triliun. Alokasi ini di luar anggaran untuk pembangunan infrastruktur. Alokasi dana otsus tahun 2018 masing-masing berjumlah sebesar Rp 8 triliun. Pada 2019, alokasi dana otsus untuk Papua adalah Rp 8,3 triliun. Meski dana otsus cukup besar, kasus kelaparan dan kurang gizi seperti di Asmat mendorong perlunya evaluasi efektivitas dana otsus Papua agar pembangunan di sana optimal dan tidak menyebabkan konflik.

2.  Marjinalisasi dan Diskriminasi Orang Asli Papua

Masalah ini sempat teratasi dengan penunjukan penduduk asli untuk memegang posisi politik strategis di Papua, seperti posisi kepala daerah. Namun, bagaimana dengan akses pendidikan dan kesehatan bagi penduduk Papua, terutama mereka yang tinggal di daerah-daerah pedalaman? Faktanya, belum setiap orang Papua mendapatkan pelayanan yang memadai karena infrastruktur yang belum terhubung ke pelosok Papua. Belum lagi keterbatasan tenaga pendidik dan kesehatan, sehingga pelayanan menjadi sangat terbatas. Hal ini ditunjukkan dengan keterbatasan jumlah tenaga kesehatan yang profesional dan jumlah rumah sakit yang tidak seimbang dengan jumlah masyarakat. Begitu pula dengan sektor pendidikan. Karena keterbatasan jumlah guru, seorang anak Kelas IX bernama Abraham Hubi dari desa terpencil tidak bisa membaca dan menulis dan harus mengikuti pelajaran tambahan. Kasus campak dan kurang gizi di Kabupaten Asmat, Papua, yang pernah menjadi sorotan dan ramai diperbincangkan membuktikan adanya persoalan sosial di tanah Papua. Hal ini merupakan bagian dari masalah hak asasi manusia (HAM) di mana aspek kesehatan bagi penduduk asli Papua belum terpenuhi.

3.  kekerasan Negara dan Tuduhan Pelanggaran HAM

Kasus penembakan di Nduga merupakan bukti bahwa kekerasan masih berlangsung di Papua. Dari kasus tersebut, ternyata pelaku kekerasan bukan hanya aparat keamanan, tetapi juga kelompok sayap militer Organisasi Papua Merdeka (OPM). Untuk menindak kekerasan ini, kita harus bisa mendefinisikan kekerasan tersebut. Apakah ini termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelanggaran HAM atau memang murni aksi kelompok ideologis berbasis kekerasan? Kejelasan definisi akan berpengaruh pada langkah penegakan hukum yang tepat untuk menciptakan stabilitas jangka panjang di Papua. Meski pihak aparat yang bertugas di Papua relatif paham akan hak asasi manusia (HAM) dan memiliki pedoman berupa buku saku prajurit TNI tentang HAM dan buku saku HAM Kepolisian Negara RI, namun faktanya tidak mudah mengubah watak represif kekerasan.

4.  Serta Sejarah dan Status Politik Wilayah Papua

Masih adanya perdebatan atas status politik Papua di dalam wilayah Republik Indonesia. Bagi Pemerintah Indonesia, status Papua sudah final, tidak ada tawar-menawar. Hal ini selamanya akan menjadi akar persoalan yang sangat sensitif untuk dinegosiasikan karena akan membuat perdebatan panjang mengenai sejarah politik Papua.

 

"Harapannya, Papua tetap dapat dipertahankan di dalam Republik Indonesia dan pada saat yang sama aspirasi masyarakat asli Papua terakomodasi dengan cara adil dan bermartabat, " kata Koordinator Tim Papua, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Muridan S Widjojo pada acara peluncuran Buku Road Map Papua, di Hotel Nikko, Jakarta, Kamis (12/8) sore.

C.       Idetifikasi Kasus di Papua Hingga Kasus Nduga

Sebelum kasus penembakan di Nduga ini, beberapa kasus berdarah juga pernah terjadi di Ppua di antaranya:

1.  Juni Berdarah di Wasior, anggota Brimob dan warga sipil jadi korban

Pada Juni 2001, publik tanah air dikejutkan dengan tragedi berdarah di Distrik Wasior, Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat. Peristiwa bermula saat 5 anggota Brimob dan seorang warga sipil terbunuh di camp perusahaan CV. Vatika Papuana Perkasa di Desa Wondiboi, Distrik Wasior, 13 Juni 2001 dini hari. Pelaku membawa kabur enam senjata anggota Brimob yang tewas dibunuh. Aparat keamanan bergerak cepat untuk mengungkap kasus ini. Polres Manokwari menerjunkan pasukannya untuk mengevakuasi anggota Brimob tersebut, sekaligus memburu para pelaku. Aparat keamanan Manokwari yang dibantu pasukan tambahan dari Biak, Jayapura, dan Sorong, mengejar pelaku hingga ke desa-desa di luar Kabupaten Manokwari, yakni di Kabupaten Nabire dan Serui. Dikutip dari suarapapua.com, dalam pengejaran itu terjadi tindak kekerasan terhadap penduduk sipil yang dicurigai sebagai pelaku. Mereka dibawa ke polsek setempat dan disiksa. Mereka ditahan tanpa surat penahanan, selanjutnya dipindahkan ke Polres Manokwari. Menurut catatan Tim AdHOC Papua dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dalam peristiwa Wasior 4 orang terbunuh, 39 orang menjadi korban penyiksaan, 1 korban perkosaan, dan 5 orang menjadi korban penghilangan paksa.

2.  Pembobolan gudang senjata yang berujung penyisiran di Wamena

Pada 4 April 2003, peristiwa berdarah kembali terjadi di tanah Papua. Kali ini lokasinya di Wamena, Kabupaten Jayawijaya. Peristiwa bermula ketika masyarakat sipil Papua sedang merayakan Hari Raya Paskah. Tiba-tiba warga dikejutkan dengan adanya penyisiran di 25 kampung.

Aparat keamanan melakukan penyisiran setelah sekelompok massa tak dikenal membobol gudang senjata Markas Kodim 1702/Wamena. Saat pembobolan ini, dua anggota Kodim yang merupakan penjaga gudang senjata tewas, dan satu lainnya luka berat.

Tidak hanya menewaskan dan melukai anggota TNI, dalam peritiwa itu pelaku yang tak dikenal tersebut juga berhasil membawa kabur sejumlah senjata dan amunisi. Merespons kejadian ini, aparat gabungan dari TNI dan Polri dikerahkan untuk mencari pelaku di 25 kampung selama kurang lebih 3 bulan. Dalam peristiwa ini, dilaporkan terjadi penangkapan sejumlah orang, penyiksaan, dan memaksa masyarakat mengungsi. Peristiwa ini juga menyebabkan jatuhnya korban jiwa dan kerugian non fisik lainnya.

Pada Juli 2004, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia telah mengeluarkan laporan penyelidikan projusticia atas kasus ini. Dilaporkan 9 orang tewas terbunuh, 38 orang luka berat dan cacat, dan terjadi pemindahan secara paksa penduduk di 25 kampung.

Dikutip dari tapol.org, sebuah situs yang mengkampanyekan hak asasi manusia, perdamaian dan demokrasi yang berkantor di Inggris, peristiwa itu juga menyebabkan 42 orang meninggal karena kelaparan dan 15 orang menjadi korban perampasan kemerdekaan.

Komnas HAM juga menemukan penandatanganan surat pernyataan serta perusakan fasilitas umum seperti gereja, poliklinik, dan gedung sekolah.

3. Aksi 3 remaja dan penembakan kerumunan massa di Paniai

Pada 8 Desember 2014, sebuah mobil warna hitam melaju dari Enaro menuju kota Madi di Kabupaten Paniai, Papua. Menurut Kontras, mobil ini dikendarai oleh dua oknum anggota TNI dan dihentikan oleh tiga remaja sipil. Remaja itu meminta lampu mobil dinyalakan karena warga sedang mengetatkan keamanan menjelang Natal. Mereka pun menahan mobil tersebut.  Tidak terima diperlakukan seperti ini, terduga anggota TNI tersebut kembali ke markas dan mengajak sejumlah anggota lainnya ke tempat peristiwa untuk mengejar 3 remaja tersebut.

Dikutip dari papuansbehindbars.org, situs online tentang para tahanan politik di Papua Barat, dalam peristiwa itu, aparat keamanan mengeluarkan tembakan ke arah kerumunan massa yang tengah menggelar demonstrasi damai untuk memprotes penyiksaan seorang remaja 13 tahun. Remaja itu dilaporkan disiksa oleh anggota Tim Militer Khusus Satuan Batalyon 753 sehari sebelum warga menggelar aksi damai. Dalam peristiwa ini dilaporkan 6 warga Papua tewas dan sedikitnya 22 orang lainnya menderita luka-luka akibat penembakan oleh aparat militer dan polisi.

4. Penangkapan dan penganiayaan di Puncak Illaga Mimika

Masih di 2014, telah terjadi penangkapan dan penganiayaan sedikitnya 26 orang Papua di Puncak Illaga, Kabupaten Mimika, Papua. Dikutip dari papuansbehindbars.org, situs online tentang para tahanan politik di Papua Barat, penangkapan dipicu oleh peristiwa penembakan oleh gerakan pro-kemerdekaan bersenjata Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) yang mengakibatkan 2 anggota Brimob tewas. Dua anggota Brimob itu ditembak di depan kantor DPRD di Distrik Kago, Kabupaten Mimika pada 3 Desember 2014. Dalam kejadian itu, anggota TPNPB itu juga mengambil senapan serbu anggota Brimob tersebut. Menanggapi kejadian ini, aparat gabungan TNI dan Polri melakukan operasi sweeping. Dilaporkan 15 rumah warga dibakar dalam peristiwa itu. Peristiwa ini juga menyebabkan 24 orang ditangkap. Diduga mereka mengalami penganiayaan dan penyiksaan. Salah satu tahanan, Pai Murib, dibebaskan dalam kondisi kritis akibat dipukul dibagian perut.

5. Minggu berdarah di Kabupaten Nduga, puluhan pekerja tewas ditembak kelompok kriminal

Peristiwa berdarah kembali terjadi di Papua awal Desember 2018 ini. Pada hari Minggu (2/12), puluhan karyawan PT Istaka Karya yang tengah mengerjakan proyek Jalan Trans Papua di Kali Yigi dan Kali Aurak Kabupaten Nduga,  tewas ditembak oleh kelompok kriminal bersenjata (KKB).  Wakil Ketua DPRD Nduga, Alimin Gwijange, kepada Tabloid Jubi, Selasa (4/12) mengatakan, dalam peristiwa itu 24 orang tewas dibunuh oleh kelompok bersenjata pimpinan Egianus Kogoya. Aparat kemanan telah mengevakuasi jasad para korban. Dalam proses evakuasi itu, aparat keamanan ditembaki oleh KKB. Mereka juga menghadapi medan berat Papua. Disebutkan, korban tewas berada di satu tempat yang hanya bisa dijangkau dengan jalan darat dan komunikasinya hanya bisa dilakukan dengan SSB. Diduga, penembakan ini terjadi akibat seorang di antara pekerja PT Isaka Karya sempat melihat dan memotret anggota kelompok kriminal bersenjata sedang melaksanakan upacara. Kepala Kantor Perwakilan Komnas HAM Provinsi Papua, Frits B Ramandey, menilai pembantaian puluhan pekerja proyek jembatan itu pelanggaran HAM serius. Dia pun meminta harus ada upaya pemulihan pasca-pembantaian di Nduga. Aparat keamanan juga perlu segera hadir di Nduga untuk melakukan tindakan penegakan hukum. Menurut Frits, mencari dan menangkap pelaku, aktor, serta memastikan masyarakat terhindar dari intimidasi berkepanjangan, juga menjadi dua alasan utama penegakkan hukum harus dilakukan. Presiden Jokowi sendiri telah memerintahkan Panglima TNI dan Kapolri untuk mengusut kasus ini. 

D.        Alternatif Tindakan Yang dilakukan Oleh Pemerintah

Yang pasti, janji-janji penyelesaian konflik Papua secara komprehensif masih sebatas jargon utopis semata yang jauh dari kenyataan. Semenjak era kepemimpinan Presiden Soeharto dan Habibie dengan kebijakan Daerah Operasi Militern (DOM), Abdurrahman Wahid dengan pelaksanaan Kongres Papua, Megawati dengan UU Otonomi Khusus (Otsus), kepemimpinan Soesilo Bambang Yudhoyono dengan Unit Percepatan Pembanguan Papua dan Papua Barat (UP4B), hingga Jokowidodo tentang Program pembangunan Infrakstruktur di Papua, kesemuanya dianggap “gagal” memberikan kepastian penyelesaian konflik di tanah Papua ini.

E.        Evaluasi  Dan Alternatif Pilihan Solusi Yang Ditawarkan

Penyelesaian kasus Nduga dapat menjadi pintu masuk untuk mengevaluasi tindakan pemerintah dalam mengimplementasikan program-programnya agar berdasar pada prinsip HAM. Untuk memperbaiki kondisi Papua di masa depan, langkah strategis dan komprehensif perlu dirumuskan. Hal ini dapat dimulai dengan melakukan evaluasi menyeluruh atas implementasi UU Otsus bagi Papua. Evaluasi ini bisa dilakukan menjelang 20 tahun pelaksanaan Otsus Papua pada 2021 dan melibatkan institusi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi untuk melakukan audit. Secara administratif, Papua terbagi dalam dua provinsi, yakni Papua dan Papua Barat. Ada29 kabupaten/kota di Provinsi Papua dan 13 kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat. Pemerintah daerah menjadi pendorong utama kemajuan pembangunan di bawah UU Otsus Papua. Namun, pilar lain yang juga berperan penting dalam mendukung keberhasilan Papua adalah Majelis Rakyat Papua (MRP) yang baru berdiri tiga tahun setelah UU Otsus diberlakukan. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Papua dan Papua Barat juga berperan di sektor regulasi daerah. Dalam konteks penyelesaian kasus pelanggaran HAM dan memutus siklus kekerasan di Papua, setiap pilar perlu mengevaluasi setiap perannya, sekaligus merumuskan bersama langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan Papua, baik fisik maupun non-fisik. Pemahaman isu HAM Papua bagi aparat hukum perlu ditingkatkan. Jika kesadaran aparat hukum akan HAM tinggi, proses penegakan hukum akan berjalan proporsional dan sesuai aturan. Selain itu, hak-hak para korban konflik kekerasan di Papua juga akan menjadi perhatian aparat hukum yang sadar HAM.

F.        Kesimpulan

Berdasarkan uraian kasus diatas dapat disimpulkan bahwa Papua merupakan salah satu pulau tersebesar dari Indonesia yang secara tata letak geografisnya sulit dijangkau, sehingga dalam segi pembangunan, ekonomi, dan kesejahteraan sangat tertinggal. Masalah Politk yang terjadi di Papua sangat Kompleks yaitu mengenai Kegagalan Pembangunan, Marjinalisasi dan Diskriminasi Orang Asli Papua, kekerasan Negara dan Tuduhan Pelanggaran HAM, Serta Sejarah dan Status Politik Wilayah Papua. Empat hal ini menjadi persoalan dasar yang sulit di selesaikan oleh Pemerintah dan hanya dijadikan isu politik ketika akan diadakan pemilihan Presiden atapun Gubernur. Dan ketika ada program yang dijalakan oleh pemerintah untuk mengatasi empat masalah tersebut terkadang hanya sebatas wacana walaupun ada implementasinya namun tidak sampai menyentuh empat titik persoalan diatas, dan ini sudah berlangsung cukup lama yang telah diperankan oleh para elit-elit politik sebelumnya sehingga Papua tetap tidak mengalami perubahan yang signifikan

G.        Saran   

Saran yang dapat diberikan dari kasus Politik di Tanah Papua adalah:

1.   Perlu ada dialog antara Jakarta dan Papua dengan sama-sama menyepakati akar masalah. Perundingan harus berjalan atas dasar saling menghormati, bermartabat, tidak merendahkan, dan tidak manipulatif.

2.   Mencapai rekonsiliasi dan kalau mungkin membentuk pengadilan hak asasi. Rekonsiliasi paling utama. Pengadilan hak asasi tetap direncanakan, namun itu memerlukan konteks politik baru. Sebagai bangsa beradab, pemerintah mau bertanggung jawab karena memang pelanggaran hak asasi di Papua benar-benar terjadi dan tidak bisa dinafikan. "Pemerintah menolak dengan alasan apa pun orang Papua akan tetap menuntut, seperti orang-orang Aceh menuntut atas korban sebagai daerah operasi militer." 

3.   Perekonomian Papua harus segera diperbaiki. Sektor ini terkait pendidikan di tidak berjalan normal, layanan kesehatan, dan sistem ekonomi tidak relevan dengan kondisi masyarakat. Rakyat Papua harus dilibatkan, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam di daerah mereka. Pembangunan Papua harus berdasarkan kapasitas sosial dan budaya Papua. Selama ini yang terjadi, rancangan pembangunan di sana lebih banyak ditentukan oleh Jakarta dan kaum pendatang. Jalan bagus dan bangunan megah belum tentu dianggap kesuksesan pembangunan bagi orang Papua.

4.   Melawan marjinalisasi dan diskriminasi terhadap orang Papua. selama ini cara digunakan oleh pemerintah tidak efektif dan tidak berkonsep. contoh penyerahan semua jabatan birokrasi dan politik langsung ke orang Papua. Kebijakan itu tidak bisa langsung akan berpihak kepada orang-orang Papua sendiri. perlu adanya pengakuan lewat penunjukan langsung terhadap orang asli Papua berkualitas, termasuk mengajak pengusaha-pengusaha papua aktif mendorong pembangunan.


Refrensi :

https://www.tifafoundation.org/masalah-papua-bukan-hanya-ekonomi-butuh-dialog-sebagai-solusi/

http://www.imparsial.org/publikasi/opini/konflik-papua-politik-setengah-hati-dan-jalan-dialog/

http://lipi.go.id/berita/lipi-temukan-empat-akar-masalah-di-papua/4422

https://www.idntimes.com/news/indonesia/sunariyah/rentetan-tragedi-berdarah-di-papua-dari-wasior-hingga-puncak-illaga/full

https://nasional.kompas.com/read/2018/12/10/17113101/jokowi-dan-tantangan-membangun-papua?page=all 




  

Post a Comment for "STUDI KASUS POLITIK DI TANAH PAPUA HINGGA SOLUSI ATAU SARAN"